Kamis, 03 November 2016

[Rindu] Ini Masih Milikmu

Gambar: Dok. Pribadi
Pikirku lurus. Tak pernah bercabang seperti ranting pohon. Tak Seperti jalan yang hendak kulewati ini. Penuh liku. Tak perlu khawatir akan lelahku melewati liku perjalanan ini. Jangan! Aku tidak lelah. Karena aku bersama kekuatan. Peluh ini luluh dengan tulus. Jadi tak perlu khawatir. Masih ada ketulusan yang berteman dengan kesetiaan. Yang sejatinya sudah mengenal dan menemaniku sedari dulu. Jauh sebelum sepi itu menepi dan menghampiriku. Tapi kuyakin, ia tak kan lama bersamaku. Masih ada kekuatan dan kesabaran di belakangku. Masih juga ketulusan yang tak kan berharap apa pun pada peluh yang terlanjur luluh.

Jujurlah. Aku masih yakin kamu akan kembali dan berbalik ke arahku. Aku masih punya Tuhan yang Maha Adil. Meski manusia bisa menghentikan ketidakadilan, tapi Tuhan memberikan keadilan penuh padaku kapan pun. Ia datang bagai cahaya yang tak mampu kubendung. Seperti rindu ini, yang tak dapat kubendung. Meski rasa itu hilang beberapa tahun lalu, kini kembali. Entah apa yang membuatnya kembali lagi, lagi dan lagi.

Mungkin saja kekuataan dan kesabaran yang menggiringnya ke arahku. Atau keyakinan dan kesabaran mendorongnya bersama kekuatan untuk kembali ke sini? Ah, pasti Tuhan dengan segala keadilan-Nya yang menuntunnya kembali ke sini.

*** 12 Juni 2015. Kamar 305.
Langkah kaki ini seirama dengan degup jantung. Padahal tidak sama sekali. Degupan jantungku lebih cepat dari langkahku. Mencoba menenangkan diri sejenak dan menepi di lorong yang sepi. Hela nafas sejenak. Dan kubuka pintu dengan penuh ke hati-hatian. “Hai...,” sapaku pada sosok yang sedang berbaring di ranjang. Tak ada jawaban. Hanya tatapan dan senyuman. Tuhan, inikah jawabku atas doaku selama ini untuk bisa menatap dan melihat senyumanya?. Sambutan hangat sentuhan tanganmu mencairkan kebekuan kisah yang t'lah lalu. “Doakan aku ya,” pintanya sambil memegang erat tanganku.

30 Mei 2016.
Aku kembali di sini (RSUD) bersamamu. Tapi kamu hanya diam. Aku datang pun, kamu hanya diam. Tak lagi menyambutku dengan hangatnya pelukmu. Tuhan, adilkah ini? Ketika Kau hadirkan kembali ia dalam hidupku, justru kau memanggilnya lebih cepat untuk kembali pada-Mu? Se-Rindu inikah Kau padanya Tuhan?

Selengkapnya : http://fiksiana.kompasiana.com/www.puji_ana.cm/rindu-ini-masih-milikmu_57d17a37de22bdb050226118
Pikirku lurus. Tak pernah bercabang seperti ranting pohon. Tak Seperti jalan yang hendak kulewati ini. Penuh liku. Tak perlu khawatir akan lelahku melewati liku perjalanan ini. Jangan! Aku tidak lelah. Karena aku bersama kekuatan. Peluh ini luluh dengan tulus. Jadi tak perlu khawatir. Masih ada ketulusan yang berteman dengan kesetiaan. Yang sejatinya sudah mengenal dan menemaniku sedari dulu. Jauh sebelum sepi itu menepi dan menghampiriku. Tapi kuyakin, ia tak kan lama bersamaku. Masih ada kekuatan dan kesabaran di belakangku. Masih juga ketulusan yang tak kan berharap apa pun pada peluh yang terlanjur luluh. Jujurlah. Aku masih yakin kamu akan kembali dan berbalik ke arahku. Aku masih punya Tuhan yang Maha Adil. Meski manusia bisa menghentikan ketidakadilan, tapi Tuhan memberikan keadilan penuh padaku kapan pun. Ia datang bagai cahaya yang tak mampu kubendung. Seperti rindu ini, yang tak dapat kubendung. Meski rasa itu hilang beberapa tahun lalu, kini kembali. Entah apa yang membuatnya kembali lagi, lagi dan lagi. Mungkin saja kekuataan dan kesabaran yang menggiringnya ke arahku. Atau keyakinan dan kesabaran mendorongnya bersama kekuatan untuk kembali ke sini? Ah, pasti Tuhan dengan segala keadilan-Nya yang menuntunnya kembali ke sini. *** 12 Juni 2015. Kamar 305. Langkah kaki ini seirama dengan degup jantung. Padahal tidak sama sekali. Degupan jantungku lebih cepat dari langkahku. Mencoba menenangkan diri sejenak dan menepi di lorong yang sepi. Hela nafas sejenak. Dan kubuka pintu dengan penuh ke hati-hatian. “Hai...,” sapaku pada sosok yang sedang berbaring di ranjang. Tak ada jawaban. Hanya tatapan dan senyuman. Tuhan, inikah jawabku atas doaku selama ini untuk bisa menatap dan melihat senyumanya?. Sambutan hangat sentuhan tanganmu mencairkan kebekuan kisah yang t'lah lalu. “Doakan aku ya,” pintanya sambil memegang erat tanganku. 30 Mei 2016. Aku kembali di sini bersamamu. Tapi kamu hanya diam. Aku datang pun, kamu hanya diam. Tak lagi menyambutku dengan hangatnya pelukmu. Tuhan, adilkah ini? Ketika Kau hadirkan kembali ia dalam hidupku, justru kau memanggilnya lebih cepat untuk kembali pada-Mu? Se-Rindu inikah Kau padanya Tuhan?

Selengkapnya : http://fiksiana.kompasiana.com/www.puji_ana.cm/rindu-ini-masih-milikmu_57d17a37de22bdb050226118
Pikirku lurus. Tak pernah bercabang seperti ranting pohon. Tak Seperti jalan yang hendak kulewati ini. Penuh liku. Tak perlu khawatir akan lelahku melewati liku perjalanan ini. Jangan! Aku tidak lelah. Karena aku bersama kekuatan. Peluh ini luluh dengan tulus. Jadi tak perlu khawatir. Masih ada ketulusan yang berteman dengan kesetiaan. Yang sejatinya sudah mengenal dan menemaniku sedari dulu. Jauh sebelum sepi itu menepi dan menghampiriku. Tapi kuyakin, ia tak kan lama bersamaku. Masih ada kekuatan dan kesabaran di belakangku. Masih juga ketulusan yang tak kan berharap apa pun pada peluh yang terlanjur luluh. Jujurlah. Aku masih yakin kamu akan kembali dan berbalik ke arahku. Aku masih punya Tuhan yang Maha Adil. Meski manusia bisa menghentikan ketidakadilan, tapi Tuhan memberikan keadilan penuh padaku kapan pun. Ia datang bagai cahaya yang tak mampu kubendung. Seperti rindu ini, yang tak dapat kubendung. Meski rasa itu hilang beberapa tahun lalu, kini kembali. Entah apa yang membuatnya kembali lagi, lagi dan lagi. Mungkin saja kekuataan dan kesabaran yang menggiringnya ke arahku. Atau keyakinan dan kesabaran mendorongnya bersama kekuatan untuk kembali ke sini? Ah, pasti Tuhan dengan segala keadilan-Nya yang menuntunnya kembali ke sini. *** 12 Juni 2015. Kamar 305. Langkah kaki ini seirama dengan degup jantung. Padahal tidak sama sekali. Degupan jantungku lebih cepat dari langkahku. Mencoba menenangkan diri sejenak dan menepi di lorong yang sepi. Hela nafas sejenak. Dan kubuka pintu dengan penuh ke hati-hatian. “Hai...,” sapaku pada sosok yang sedang berbaring di ranjang. Tak ada jawaban. Hanya tatapan dan senyuman. Tuhan, inikah jawabku atas doaku selama ini untuk bisa menatap dan melihat senyumanya?. Sambutan hangat sentuhan tanganmu mencairkan kebekuan kisah yang t'lah lalu. “Doakan aku ya,” pintanya sambil memegang erat tanganku. 30 Mei 2016. Aku kembali di sini bersamamu. Tapi kamu hanya diam. Aku datang pun, kamu hanya diam. Tak lagi menyambutku dengan hangatnya pelukmu. Tuhan, adilkah ini? Ketika Kau hadirkan kembali ia dalam hidupku, justru kau memanggilnya lebih cepat untuk kembali pada-Mu? Se-Rindu inikah Kau padanya Tuhan?

Selengkapnya : http://fiksiana.kompasiana.com/www.puji_ana.cm/rindu-ini-masih-milikmu_57d17a37de22bdb050226118


Selengkapnya : http://fiksiana.kompasiana.com/www.puji_ana.cm/rindu-ini-masih-milikmu_57d17a37de22bdb050226118
Pikirku lurus. Tak pernah bercabang seperti ranting pohon. Tak Seperti jalan yang hendak kulewati ini. Penuh liku. Tak perlu khawatir akan lelahku melewati liku perjalanan ini. Jangan! Aku tidak lelah. Karena aku bersama kekuatan. Peluh ini luluh dengan tulus. Jadi tak perlu khawatir. Masih ada ketulusan yang berteman dengan kesetiaan. Yang sejatinya sudah mengenal dan menemaniku sedari dulu. Jauh sebelum sepi itu menepi dan menghampiriku. Tapi kuyakin, ia tak kan lama bersamaku. Masih ada kekuatan dan kesabaran di belakangku. Masih juga ketulusan yang tak kan berharap apa pun pada peluh yang terlanjur luluh. Jujurlah. Aku masih yakin kamu akan kembali dan berbalik ke arahku. Aku masih punya Tuhan yang Maha Adil. Meski manusia bisa menghentikan ketidakadilan, tapi Tuhan memberikan keadilan penuh padaku kapan pun. Ia datang bagai cahaya yang tak mampu kubendung. Seperti rindu ini, yang tak dapat kubendung. Meski rasa itu hilang beberapa tahun lalu, kini kembali. Entah apa yang membuatnya kembali lagi, lagi dan lagi. Mungkin saja kekuataan dan kesabaran yang menggiringnya ke arahku. Atau keyakinan dan kesabaran mendorongnya bersama kekuatan untuk kembali ke sini? Ah, pasti Tuhan dengan segala keadilan-Nya yang menuntunnya kembali ke sini. *** 12 Juni 2015. Kamar 305. Langkah kaki ini seirama dengan degup jantung. Padahal tidak sama sekali. Degupan jantungku lebih cepat dari langkahku. Mencoba menenangkan diri sejenak dan menepi di lorong yang sepi. Hela nafas sejenak. Dan kubuka pintu dengan penuh ke hati-hatian. “Hai...,” sapaku pada sosok yang sedang berbaring di ranjang. Tak ada jawaban. Hanya tatapan dan senyuman. Tuhan, inikah jawabku atas doaku selama ini untuk bisa menatap dan melihat senyumanya?. Sambutan hangat sentuhan tanganmu mencairkan kebekuan kisah yang t'lah lalu. “Doakan aku ya,” pintanya sambil memegang erat tanganku. 30 Mei 2016. Aku kembali di sini bersamamu. Tapi kamu hanya diam. Aku datang pun, kamu hanya diam. Tak lagi menyambutku dengan hangatnya pelukmu. Tuhan, adilkah ini? Ketika Kau hadirkan kembali ia dalam hidupku, justru kau memanggilnya lebih cepat untuk kembali pada-Mu? Se-Rindu inikah Kau padanya Tuhan?

Selengkapnya : http://fiksiana.kompasiana.com/www.puji_ana.cm/rindu-ini-masih-milikmu_57d17a37de22bdb050226118

Sabtu, 23 April 2016

Bukan Hanya Pria, Wanita Juga Takut Berkomitmen





 (Foto: Google)

Stereotipe universal yang menjadi pegangan banyak orang selama ini selalu beranggapan bahwa kebanyakan pria menghindari diri bahkan takut untuk berkomitmen. Sedangkan wanita lebih siap dan selalu menuntut sebuah komitmen kepada pasangan prianya.

Sepertinya faktor usia tidak selalu berpengaruh pada seorang pria untuk memutuskan untuk berumah tangga, hidup dalam aturan perkawinan yang siap membatasi ruang gerak dan kebebasannya. Sedangkan wanita dianggap akan mengejar komitmen karena faktor usia sangat menentukan penilaian masyarakat terhadap dirinya. “Perawan Tua” Seolah-olah menjadi dasar penilaian negatif pada seorang wanita.

Rasanya, zaman sekarang anggapan seperti itu perlu dikoreksi dan dilihat kembali terhadap keberadaan wanita modern saat ini. Karena alasan karir atau ketakutan akan kegagalan berumah tangga, sebagian wanita dapat memutuskan untuk menunda hidup berkomitmen. Bahkan ada diantaranya yang memutuskan untk hidup sendiri.

Tapi, jangan terlalu terburu-buru untuk menilai bahwa wanita yang enggan berkomitmen akan berperilaku seperti “sex and the city”, serial televisi yang diproduksi oleh HBO. Dimana gaya hidup metropolis dan pergaulan (sex) bebas merupakan alternatif kemungkinan pemenuhan “kebutuhan sex” tanpa ikatan tetap atau hidup dalam sebuah komitmen.

Komitmen dalam berumah tangga tidak selalu membahas mengenai urusan seksual, namun lebih pada tanggung jawab akan “kontrak” hidup bersama dalam jangka panjang atau seumur hidup. Rasanya tidak masuk akal kalau untuk mempersatukan dua orang yang berbeda sifat dan karakter dasar hanya dapat dipenuhi karena kebutuhan seksual atau keinginan untuk memiliki keturunan.

Itulah sebabnya, komitmen awal untuk berumah tangga harus dipertegas sedari awal. Apakah hidup bersama hanya untuk memenuhi kebutuhan biologis saja atau ingin hidup bersama yang secara harafiah sebagaimana mestinya pasangan hidup yang sejati? Hidup bersama berdasarkan cinta, saling memberi dan menrima segala kekurangan pasangan dan saling melengkapi satu sama lain?. Hal itu yang harus dipertegas.

Jadi, bukan hanya sekedar urusan biologis saja. Banyak hal yang harus dipertimbang kan sebelum memutuskan untuk berkomitmen dengan pasangan hidup. Jangan komitmen itu menjadi bumerang sepanjang hidup dalam berumah tangga. Tak pelak jika dizaman sekarang, banyak pasangan muda-mudi sekarangan hanya seumur jagung. Atau istilah trend nya ‘kawin cerai’. Lantas kemana komitmen yang telah mereka buat dan sepakati bersama?

Memegang teguh sebuah komitmen memang tak mudah. Tapi itu semua tergantung dari pada manusianya itu sendiri. Pertegas komitmen dalam sebuah hubungan sedari awal. Mau dibawa kemana hubungan ini? Sekedar having fun atau ke arah yang lebih jauh? Kedua pertanyaan ini harus disepakati bersama pasangan dan didasari dari hati, jangan hanya kesepakatan yang sepihak. Percayakah jika orang yang supel itu sulit untuk berkomitmen?


http://www.kompasiana.com/phi-phi/bukan-hanya-pria-wanita-juga-takut-berkomitmen_551815aba333117c07b66306